Sebagai Expert dalam Melakukan Pengkajian Teknologi Konversi Plastik menjadi BBM

???????????????????????????????

Penyampai paparan teknologi adalah Pak Suparmin

???????????????????????????????

Sosialisasi Operasi Penggunaan Biogas untuk Keperluan Rumah Tangga di Desa Kalisari

Sosialisasi Operasi Penggunaan Biogas untuk Keperluan Rumah Tangga di Desa Kalisari

Sosialisasi ini dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2012 kepada Warga Desa Kalisari khususnya kelompok Biolita III yang menggunakan biogas dari proses yang dihasilkan oleh reaktor biogas ketiga yang dibangun di desa tersebut.

Reaktor Biogas yang dibangun di Desa Kalikidang

DSC00543

Reaktor ini adalah reaktor keempat yang dibangun BPPT di Kabupaten Banyumas. Kali ini, BPPT bekerja sama dengan BLH Kabupaten Banyumas dalam pembangunan, sekaligus pula dalam pendampingan teknis dan transfer knowledge.

DSC00541

???????????????????????????????

Reaktor Biogas ketiga yang Dibangun di Desa Kalisari

Reaktor Biogas ketiga yang Dibangun di Desa Kalisari

Pendampingan Masyarakat Desa Kalikidang, Kabupaten Banyumas dalam pengenalan Penggunaan Biogas di Rumah Tangga

Pendampingan Masyarakat Desa Kalikidang, Kabupaten Banyumas dalam pengenalan Penggunaan Biogas di Rumah Tangga

Pelatihan Sosialisasi Teknologi Biogas untuk Pengolahan Limbah Cair Tahu di Kabupaten Banyumas

Dalam rangka pembangunan IPAL Tahu dengan teknologi fermentasi anaerobik menjadi biogas sebagai energi alternatif terbarukan untuk masyarakat, Pusat Teknologi Lingkungan BPPT diberikan tugas untuk melaksanakan pendampingan bagi stakeholder pembangunan IPAL dalam diseminasi teknologi biogas dengan menggunakan reaktor unggun tetap.

Program ini terwujud dari kerjasama antara PTL BPPT, BLH Kab Banyumas dan Kemenristek melalui program insentif PKPP Kemenristek Tahun 2012. Dalam hal ini Kemenristek membiayai dana pelatihan dan pendampingan yang dilakukan BPPT terhadap Kab Banyumas dalam membangun IPAL yang baru, sementara BLH Banyumas berperan sebagai stakeholder utama dalam pembangunan IPAL. Fungsi ini merupakan peran yang dijalankan oleh BPPT sebagai institusi pemerintah dalam hal alih teknologi atau diseminasi teknologi. Teknologi yang menjadi objek dalam program ini adalah teknologi pengolahan limbah cair tahu secara anaerobik menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat. Teknologi ini telah menuai perhatian karena keberhasilan penerapannya pada program implementasi teknologi yang ramah lingkungan akibat pengendalian pencemaran limbah cair industri tahu dan juga substitusi bahan bakar fosil. Tidak hanya itu, program ini juga telah cukup berhasil meningkatkan pemahaman dan minat masyarakat dalam pengelolaan lingkungan yang semakin baik.

Pada tahun 2009 dan tahun 2010, BPPT bekerja sama dengan Kemenristek telah membangun 4 unit percontohan reaktor unggun tetap di 2 daerah Banyumas, yaitu 2 reaktor untuk mengolah limbah cair industri tahu di Desa Kalisari,  1 reaktor untuk mengolah limbah cair industri tahu di Desa Cikembulan, dan 1  reaktor untuk mengolah limbah cair industri tapioka di Desa Gumelar. Unjuk kerja keempat reaktor ini sedemikian baiknya sehingga untuk unit biogas dari limbah tahu saja, telah ada sebanyak 52 Rumah Tangga yang dapat menggunakan biogas sebagai pengganti LPG dalam aktifitas harian mereka.

Program pembangunan IPAL yang baru yang dimulai tahun 2012 ini adalah program diseminasi dari keberhasilan implementasi teknologi biogas yang diterapkan sebelumnya, sehingga Pemda Kab Banyumas bermaksud memperbanyak reaktor tersebut sehingga lebih jauhnya diharapkan bahwa Desa- Desa di Kab Banyumas yang terkenal dengan industri tahu yang dimilikinya dapat mencukupi kebutuhan energi hariannya sekaligus dapat mengendalikan pencemaran lingkungan akibat industri tahu itu sendiri.

Program pendampingan dan diseminasi teknologi yang dilakukan oleh BPPT dimaksudkan untuk mengulang kesuksesan dalam pembangunan IPAL tahu menjadi biogas, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam hal pemahaman dan peningkatan kemampuan dalam melakukan perancangan pembangunan sampai dengan pelakasanaan bahkan hingga ke proses evaluasi dan monitoring.

Program pendampingan didukung dengan adanya program pelatihan yang telah dilaksanakan pada tanggal 21 dan 22 Juni 2012 bertempat di BLH Kab Banyumas. Pelatihan ini memberikan deskripsi tentang proses produksi bersih, sosial-engineering yang juga merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan teknologi di Kalisari 2 tahun yang lalu, serta materi teknis yang berisi review proses fermentasi anaerobik dari limbah tahu menjadi biogas yang disertai pemilihan reaktor, perancangan reaktor (digester), perancangan gas holder, dan perancangan sistem perpipaan yang semuanya merupakan rangkaian utuh yang penting dalam pembangunan IPAL tahu menjadi biogas. Pelatihan menerapkan konsep 2 arah dan dinamika kelompok untuk memaksimalkan penyerapan materi dan peningkatan pemahaman para peserta pelatihan. Selain itu diberikan juga simulasi untuk perancangan biogas sehingga peserta diberikan pengalaman menghitung, meskipun dengan menggunakan pendekatan kasar, serta dipertunjukan juga demonstrasi pengukuran kadar biogas dengan metode yang mudah dilakukan.

Diharapkan dengan adanya pelatihan ini tercipta mekanisme alih teknologi yang memungkinkan berkembangnya teknologi pengolahan limbah berwawasan lingkungan yang juga ternyata menghasilkan biogas yang dapat digunakan untuk menggantikan keberadaan dan fungsi dari bahan bakar tak terbarukan seperti kayu dan LPG.

Reaktor Fixed Bed untuk Pengolahan Limbah secara Anaerobik

Proses degradasi limbah cair organik dapat dilakukan pada bioreaktor tanpa atau dengan support material yang dapat diperinci sebagai berikut :

  • Reaktor tanpa support material adalah jenis reaktor yang mempunyai tempat untuk menempel bakteri, yang termasuk jenis ini adalah

(a)   reaktor tanpa pengaduk,

(b). reaktor dengan pengaduk dan

(c)   Reaktor tipe sludge bed.

  • Reaktor dengan support material adalah jenis reaktor yang mempunyai tempat untuk menempel bakteri, yang termasuk jenis reaktor ini adalah

(a). reactor tipe fixed bed,

(b). reactor tipe fluidized bed.

Pada percontohan ini reaktor yang digunakan adalah tipe Fixed Bed Reactor yaitu reaktor yang terdiri tangki berisi bahan pembantu berupa support material. Fungsi dari support material adalah sebagai tempat menempel mikroba, sehingga mikroba tidak ikut terbawa oleh cairan sisa buangan atau efluen yang keluar dari reaktor

Keuntungan lain menggunakan support material adalah jumlah mikroorganisme tidak dipengaruhi oleh jumlah beban atau banyaknya substrat yang dimasukkan atau laju beban yang tinggi, karena mikroba telah menempel dengan baik di support material. Reaktor ini dapat dioperasikan secara : up flow dan down flow dengan dan tanpa sirkulasi efluen Mubyarto, 1984   (more…)

Biogas dari Limbah Industri Tahu oleh BPPT

Mitigasi Gas Rumah Kaca dan Produksi Bersih

1.      Kebijakan Nasional Dalam Rangka Perubahan Iklim

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 5 pulau utama dan 30 kelompok kepulauan yang lebih kecil; mencakup 17.500 pulau, yang terletak antara 06°08’ Lintang Utara – 11°15’ Lintang Selatan, dan 94°45’ – 141°05’ Bujur Timur. Luas Indonesia terdiri atas 3,1 juta km2 wilayah perairan (62% dari total luas) dan sekitar 2 juta km2 wilayah daratan (38% dari total luas), dengan panjang garis pantai 81.000 km. Jika Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2 dimasukkan, area yurisdiksi total Indonesia menjadi 7,8 juta km2. Indonesia memiliki karakteristik geografis dan geologis yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, yakni sebagai negara kepulauan daerah pantai yang luas dan besarnya populasi penduduk yang tinggal di daerah pesisir, memiliki hutan yang luas namun sekaligus menghadapi encaman kerusakan hutan, rentan terhadap bencana alam (gempa vulkanik dan tektonik, tsunami, dll) dan kejadian cuaca ekstrim (kemarau panjang, banjir), memiliki tingkat polusi yang tinggi di daerah urban, memiliki ekosistem yang rapuh (fragile) seperti area pegunungan dan lahan gambut, serta kegiatan ekonomi yang masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil dan produk hutan.

Dampak perubahan iklim yang sangat besar terhadap berbagai sektor, mendorong untuk dilakukan berbagai upaya sebagai langkah adaptasi dan mitigasi terhadap dampak perubahan iklim tersebut .  Indonesia tentu saja harus lebih waspada karena merupakan negara kepulauan yang terletak di daerah tropis, yang merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap ancaman dan dampak dari perubahan iklim.

Untuk menghadapi perubahan iklim, perlu usaha dan pemikiran yang sangat serius, karena perubahan iklim merupakan masalah yang sangat komplek, melibatkan berbagai parameter, dan berdampak pada berbagai aspek. Iklim erat kaitannya dengan kehidupan manusia, sebagai bagian tak terpisahkan, memegang peranan penting dalam pengelolaan ekonomi pembangunan, menjadi salah satu faktor penting dalam aspek kemakmuran ketahanan nasional, karena peningkatan kebutuhan manusia akan meningkatkan aktivitas industri, pembukaan hutan, usaha pertanian dan rumah tangga yang melepaskan Gas Rumah Kaca (GRK), dimana suatu perubahan kecil dari kondisi rata-rata yang meningkatkan GRK dapat menyebabkan suatu perubahan yang besar dalam frekuensi kejadian ekstrim.

 

2.      Tujuan dan Strategi Pembangunan Nasional Menghadapi Perubahan Iklim

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dengan kondisi sebagai negara berkembang, kemampuan Indonesia dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim belumlah sebaik negara-negara maju. Oleh karena itu dikhawatirkan bahwa pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah bisa terhambat karena dampak perubahan iklim. Golongan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah masyarakat miskin yang juga merupakan golongan yang paling terkena dampak terhambatnya pembangunan nasional. Dengan demikian, respon terhadap perubahan iklim harus mengikutsertakan program pengentasan kemiskinan. Strategi tiga jalur (triple track strategy), yakni pro-poor, pro-job, dan pro-growth harus menjadi bagian integral dalam strategi nasional menghadapi perubahan iklim. Strategi nasional menghadapi perubahan iklim juga perlu diarahkan pada pengembangan rekayasa sosial agar masyarakat dapat mengalami perubahan sosial terencana, sistematis dan menyeluruh yang dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan kehidupan sosial dan ekologi.

3.      Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim

Sebagai respon terhadap perubahan iklim yang sedang dan diperkirakan akan terus terjadi, Rencana Aksi Nasional terfokus pada usaha mitigasi dan adaptasi. Mitigasi pada dasarnya merupakan usaha penanggulangan untuk mencegah terjadinya perubahan iklim yang semakin buruk, sedangkan adaptasi merupakan upaya penyesuaian pola hidup dan sarananya terhadap perubahan iklim. Secara umum, untuk menunjang pelaksanaan kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, maka diperlukan penegakan hukum yang tegas, tata kepemerintahan yang baik (Good Governance), persiapan dan rekayasa sosial, serta sosialisasi dan pendidikan yang intensif.

– Aksi Mitigasi :

  1. Kehutanan antara lain ;  penurunan emisi dan peningkatan kapasitas penyerapan karbon, pengembangan mekanisme insentif REDD dan Kontinuitas Program MIH yang terintegrasi dengan GERHAN, penataan ruang, pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar kawasan hutan,  penanggulangan kebakaran hutan, penanggulangan illegal loging
  2. Kelautan antara lain ; peningkatan penyerapan karbon, penanaman mangrove dan vegetasi pantai, rehabilitasi,terumbu karang,  perluasan wilayah konservasi laut.
  3. Energi antara lain ; pembangkit energi , inventarisasi GRK dan penurunannya, substitusi energi yang rendah karbon, sumber EBT ( biomas, panas bumi, surya, angin, air)
  4. Transportasi antara lain, inventarisasi GRK dan penurunannya, penggunaan sumber EBT.
  5. Industri antara lain ;  inventarisasi GRK dan penurunannya, penerapan teknologi bersih dan prinsip 5R, penggunaan sumber EBT, peningkatan proyek CDM, industri baru wajib dalam kawasan industri, sistem manager pengendalian dan pencegahan pencemaran (EIP)
  6. Rumah Tangga dan Komersial antara lain ;  inventarisasi GRK dan penurunannya, pengelolaan sampah yang terintegrasi mulai dari penghasil hingga TPA, Penerapan teknologi waste to energy, mendorong penerapan prinsip 3R.
  7. Lain-lain ; kampanye Hemat energi, revisi Perores 67 tahun 2005 untuk pelaksanaan CDM, lampu hemat energi untuk jalan dll

– Aksi Adaptasi

  1. Sumberdaya air antara lain ; hemat air, inventarisasi lahan gambut, pemulihan DAS, memperbaiki jaringan hidrologi, inventarisasi tempat pengambilan air baku, pembangunan situ, embung, waduk.
  2. Pertanian antara lain ;  membuat peta wilayah kekeringan, rehabilitasi irigasi, pengendalian bencana banjir dan kekeringan,  sosialisasi untuk membangun pemahaman yang benar terhadap perubahan iklim dan dampaknya pada sector pertanian
  3. Kelautan antara lain  pesisir dan Perikanan antara lain ; melakukan penanaman mangrove atau tanaman pantai lainnya di daerah pesisir, melakukan
  4.  penelitian nasional untuk mengkaji potensi dan peningkatan penyerapan emisi CO2 dari sektor kelautan, Bimbingan dan pemahaman kepada nelayan dan masyarakat pesisir pada umumnya tentang sistem peringatan dini, Pemasangan alat pemecah ombak
  5.  Infrastruktur antara lain ; pembuatan sistem drainase dan sumur resapan dan atau tampungan air di bawah badan jalan, pembuatan jalan-jalan untuk pejalan kaki dan sepeda serta penanaman jalan dengan tanaman peneduh, membangun sistem rumah susun.
  6. Kesehatan antara lain ; penyuluhan kesehatan, dan perbaikan sanitasi lingkungan untuk seluruh masyarakat,  melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis-jenis penyakit yang bisa ditimbulkan sebagai dampak perubahan iklim, pengendalian vektor penular penyakit
  7. Kehutanan dan Keanekaragaman Hayati antara lain ; inventarisasi keanekaragaman hayati di Indonesia, usaha perlindunganm terhadap ekosistem
  8. Lintas Sektor antara lain ;  peningkatan kapasitas institusi penyedia data dan informasi cuaca, pemantauan perubahan temperatur, kenaikan muka air laut, erosi air laut, tinggi gelombang dan kondisi-kondisi iklim ekstrim., menyusun peta daerah rawan bencana, penetapan strategi nasional adaptasi terhadap perubahan iklim.

Melalui Konferensi Perubahan Iklim tanggal 7-18 Desember tahun 2009 di Kopenhagen Denmark, Indonesia mengintrodusir Program sukarela penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26 % hingga tahun 2020. Program tersebut akan menurunkan 0,7 miliar ton CO2 dengan kebutuhan dana diperkirakan Rp 83,3 triliun selama lima tahun. Penurunan emisi ditempuh oleh 7 sektor yaitu sektor kehutanan, pertanian, transportasi, energi, proses industri, limbah/persampahan, dan lahan gambut. Target penurunan emisi sektor kehutanan adalah yang tertinggi yaitu 13%, disusul oleh sektor lahan gambut 9,5%. Program sektor kehitanan dan lahan gambut meliputi penanaman pohon, dan pencegahan serta pengendalian penggundulan hutan.

 

4.  Produksi Bersih

Produksi Bersih adalah strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, terpadu dan diterapkan secara terus-menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu ke hilir yang terkait dengan proses produksi, produk dan jasa untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya sehingga dapat meminimisasi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta kerusakan lingkungan (Sumber: Kebijakan Nasional Produksi Bersih, KLH 2003).

Dengan menggunakan terminologi definisi tersebut di atas, maka diperlukan penerapan konkrit dengan prinsip-prinsip adalah sebagai berikut

•          Penanganan di lakukan di lokasi pabrik

•          Perubahan bentuk limbah menjadi limbah kurang berbahaya

•          Pengurangan volume limbah

•          Resiko dari residu sisa limbah kecil

•          Penanganan terpadu

•          Aspek tindak pencegahan bukan penyimpanan

Oleh sebab itu penerapan produksi bersih diperlukan

1.       Motivasi

Melakukan perbaikan terus menerus adalah prilaku yang perlu dimiliki oleh pekerja didukung oleh pemilik usaha. Penerapan produksi bersih (PB) tidak dirasakan sebagai beban, namun sebagai suatu kebutuhan.

2.       Komitmen

Adanya komitmen yang sungguh-sungguh pemilik usaha dalam mensukseskan suatu perubahan yang disepakati. Sense of belonging (rasa memiliki) pekerja terhadap tempat usaha/perusahaan membantu menumbuhkan komitmen dalam melakukan perbaikan.

3.       Team work, pemilik usaha dan pekerja

Kebersamaan antara pemilik usaha dan pekerja sangat diperlukan dalam menerapkan suatu perubahan. Rasa kebersamaan dan komunikasi yang intensif antara kedua belah pihak akan memudahkan dalam penyampaian masukan dan kritik terhadap perubahan, sehingga bisa diambil tindakan yang lebih tepat (win-win solution). Tentunya, hasil dari penerapan produksi bersih (PB) tidak hanya dinikmati oleh pemilik usaha, namun juga pekerja dan masyarakat, baik dari segi finansial, lingkungan, dan organisasional.

4.       Kebiasaan (habbit)

Perubahan-perubahan yang telah disepakati sebelumnya, perlu dijadikan suatu kebiasaan (habbit) bagi pekerja. Pemilik usaha perlu melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan produksi bersih (PB) secara berkala untuk menjamin pekerja melakukan perubahan itu sebagai suatu kebiasaan.

UNEP telah membuat alur atau siklus produksi bersih yang dapat menjadi acuan bagi industri besar menengah kecil maupun konsultan dalam pelaksanaannya

Langkah awal dalam melakukan analisis sebelum menerapkan konsep produksi bersih adalah mengetahui tentang non product output (NPO). NPO didefinisikan sebagai seluruh materi, energi, dan air yang digunakan dalam proses produksi namun tidak terkandung dalam produk akhir. Dengan definisi tersebut maka bentuk NPO dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut :

1.       Bahan baku yang kurang berkualitas

2.       Barang jadi yang ditolak, diluar spesifikasi produk (semua tipe)

3.       Pemrosesan kembali (reprocessing)

4.       Limbah padat (beracun, tidak beracun)

5.       Limbah cair (jumlah dari kontaminan, keseluruhan air yang tidak terkandung dalam produk final)

6.       Energi (tidak terkandung dalam produk akhir, seperti uap, listrik, oli, diesel, dll)

7.       Emisi (termasuk kebisingan dan bau)

8.       Kehilangan dalam penyimpanan

9.       Kerugian pada saat penanganan dan transportasi (internal,maupun eksternal)

10.   Pengemasan barang

11.   Klaim pelanggan dan trade returns

12.   Kerugian karena kurangnya perawatan

13.   Kerugian karena permasalahan kesehatan dan lingkungan

  1. Referensi

1.       ————————,  Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Republik Indonesia Tahun 2007.

2.       ————————, International Federation of Accountants IFAC, 1998: Environmental Management in Organizations. The Role of Management Accounting. Study 6. New York,

3.       ————————, Study Of  Management Accounting 1980,  The Centre for Sustainability Management (CSM), University of Lueneburg, Germany’

4.       ————————, Environmental Management Accounting 2003, Society for Environmental Protection (ASEP)  Bangkok, Thailand.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Stabilitas Reaktor Biogas

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Stabilitas Reaktor, misalnya faktor yang mempengaruhi stabilitas reaktor selama proses biometanasi, beberapa diantaranya parameter yang berpengaruh (Sham,H,1984) adalah :

a.       Waktu tinggal subtract (hydraulic retention time)

b.       Waktu tinggal substrat atau hydraulic retention time (HRT)

Satuan waktu tinggal adalah hari. Waktu tinggal juga dipengaruhi oleh volume reaktor dan dapat dikatakan berbanding terbalik dengan laju pemberian substrat.

  1. Laju pembebanan (Loading rate)

Laju pembebanan biasanya disebut loading rate adalah besaran yang menyatakan jumlah material organik dalam satu satuan volume yang diumpankan pada reaktor. Substrat cair yang diumpankan dapat didegradasi oleh mikroba, kemudian diubah menjadi metana melalui proses biologis oleh mikroba-mikroba pengurai didalam reaktor. Perubahan laju pembebanan yang mendadak dapat mengakibatkan kenaikan yang setara dalam produksi asam, yang tidak dapat disesuaikan oleh kenaikan yang setara dalam pembentukan metana. Pembentukkan produk asam asetat (asam lemak organik) akan mengakibatkan penurunan pH dan penghambatan lebih jauh dari produksi metan akan terjadi. Satuan laju pembebanan adalah kg COD/m3.hari.

  1. Konsentrasi substrat (COD)

Konsentrasi bahan organik sangat berpengaruh terhadap perencanaan pembuatan dimensi reaktor dan juga bagi kelangsungan proses penguraian zat organik kompleks menjadi senyawa sederhana. Kelemahan perencanaan reaktor dengan kandungan COD yang rendah adalah kebutuhan volume reaktor yang cukup besar untuk dapat menampung umpan substrat.

  1. Kandungan asam lemak organik (Volatile fatty acid)

Asam lemak organik bias disebut sebagai volatile fatty acid yang mempunyai rumus       R – COOH, dimana R/ = CH3 (CH2)n, Asam lemak yang dibentuk dalam hidrolisa polisakarida umumnya adalah jenis rantai pendek seperti asetat, propionate dan butirat. Konsentrasi asam lemak yang tinggi akan menyebabkan turunnya pH reaktor dan akan membuat terbentuknya asam lemak rantai panjang. Batas konsentrasi asam asetat yang dapat ditoleransi adalah dibawah 10 mg/L; diatas batas tersebut menyebabkan rusaknya sistem biologi.

  1. Alkalinitas.

Alkalinitas pada proses fermentasi anaerobik adalah kemampuan lumpur didalam reaktor untuk menetralkan asam. Hal ini diperlukan untuk mengimbangi fluktuasi konsentrasi asam didalam reaktor, sehingga fluktuasi pH tidak terlalu besar dan tidak sampai mengakibatkan gangguan pada stabilitas reaktor.

  1. pH

pH adalah besaran yang menyatakan banyaknya ion H+. Nilai pH ini dirumuskan sebagai pH = – log (H). Stabilitas proses fermentasi anaerobik sangat tergantung pada nilai pH didalam reaktor. pH yang rendah menyatakan adanya kelebihan proton (H) didalam reaktor sebab proton akan berubah menjadi H2 yang merupakan senyawa dalam reaktor, pH yang baik untuk operasi adalah 6,0 – 7,5

Bakteri pada umumnya tumbuh dalam suatu rentang pH tiga unit dan mikroba juga menunjukkan nilai pertumbuhannya maksimum antara pH 6,0 – 7,5. Pada pH lebih rendah dari 5,0 dan lebih tinggi dari 8,5 pertumbuhannya sering terhambat meskipun untuk beberapa mikroba ada pengecualian, seperti sejumlah kecil Acetobacter spp. Pengaturan pH sangat penting untuk menjaga pertumbuhan mikroba yang terbaik dari proses pengubahan sistem mikroba anerobik. Pada awal operasi atau pada saat inokulasi pH dalam bioreaktor dapat turun menjadi 6 atau lebih rendah. Hal ini disebabkan terbentuknya asam-asam lemak organik. Setelah beberapa saat pH akan naik kembali yang disebabkan karena terbentuknya gas metan dari asam-asam lemak tersebut.

  1. Rasio perbandingan Karbon dan Nitrogen.

Rasio C/N adalah besaran yang menyatakan perbandingan jumlah atom karbon dibagi dengan atom nitrogen. Di dalam reaktor terdapat populasi mikroba yang memerlukan karbon dan nitrogen. Apabila nitrogen tidak tersedia dengan cukup, maka mikroba tidak dapat memproduksi enzim yang berguna untuk mencerna karbon. Apabila nitrogen terlalu banyak maka pertumbuhan mikroba akan terganggu, hal ini khususnya terjadi apabila kandungan ammonia didalam substrat terlalu tinggi. Kebutuhan atom atom karbon selama respirasi pembentukan sae untuk setiap 1 atom nitrogen adalah sebanyak 30 atom karbon. Oleh karena itu nilai C/N yang baik adalah sekitar 30.

  1. Temperatur

Proses pengubahan zat organik polimer menjadi senyawa yang lebih sederhana didalam reaktor dipengaruhi oleh temperatur. Berdasarkan temperatur yang biasa pada pengoperasian reaktor, maka bakteri yang terdapat didalam reaktor dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu: Termofilik yang hidup pada suhu antara 40 – 60 OC, dan Mesofilik yang hidup pada suhu antara 25 – 40 OC.

Temperatur yang terbaik untuk pertumbuhan mikroba mesofilik adalah 35 OC atau lebih tinggi sedikit. Bila reaktor anaerobik dioperasikan pada suhu yang lebih rendah, misalnya 20 OC, pertumbuhan mikroba pada kondisi ini sangat lambat dan sulit pada awal operasi untuk beberapa bioreaktor. Inokulasi akan lebih baik jika dimulai pada suhu 35 OC.

  1. Senyawa racun dan penghambat.

Senyawa penghambat atau inhibitor pada proses fermentasi anaerob dapat dibedakan atas 2 jenis yaitu penghambat fisik dan penghambat kimia. Penghambat fisik adalah temperatur dan penghambat kimia  biasa disebut juga dengan racun diantaranya adalah logam berat, anti biotik dan Volatile Fatty Acid (VFA)

Proses pengolahan yang dilakukan tidak hanya secara anaerobik akan tetapi dilakukan pula secara aerobik. Proses aerobik menurut Stefan S, 1986, adalah pengolahan biologi yang memanfaatkan mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik dalam kondisi memberikan oksigen dengan cara aerasi dengan berbagai macam cara.

Kekurangan utama pada sistem aerobik adalah proses pertumbuhan mikroorganismenya sangat membutuhkan oksigen sehingga membutuhkan energi yang besar. Proses aerasi umumnya dilakukan untuk bahan organik yang kadarnya tidak terlalu tinggi. Contoh proses aerobik adalah dapat menggunakan sistem activated sludge, trickling Filter dan lain sebagainya.